Meja Sebrang #2
- Hanifah Aulia Septyanti
- 5 Mar
- 9 menit membaca
Kerumunan siswa tertawa, beberapa bahkan menunjuk-nunjuk foto itu sambil berbisik. Aku merasakan emosi yang bercampur aduk. Aku terkejut, marah, dan muak. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah ke depan, meraih kertas itu, dan merobeknya dengan kasar. Semua orang terdiam, menatapku dengan berbagai ekspresi.
“Kalian semua benar-benar tidak punya pekerjaan,” suaraku terdengar tajam, nyaris bergetar oleh emosi.
“Apa yang salah dengan berteman dengan Ringga? Kenapa kalian semua begitu peduli dengan hidup orang lain?”
Tidak ada yang menjawab. Aku menghela napas dalam, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar, hampir menangis. “Ya, aku berteman dengan Ringga. Dia membantuku belajar, dan aku menghargainya. Jika kalian menganggap itu hal yang aneh atau lucu, itu urusan kalian, bukan urusanku!”
Aku melemparkan sisa kertas yang sudah kusobek ke tempat sampah terdekat, lalu berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Yang terpenting sekarang, aku harus berbicara dengan Ringga dan memastikan bahwa ia tahu bahwa aku tidak pernah menganggapnya rendah. Dan titik sial di hari ini adalah Ringga sudah tidak ada di lingkungan sekolah. Aku harus menunggu besok dan menjalani dulu hari dengan olokan yang terjadi di hari ini. Namun, untuk Ringga aku akan tetap melewatinya.
Pagi berikutnya aku melangkah memasuki gedung sekolah dengan kepala tertunduk. Suasana riuh rendah segera mereda ketika aku tiba, berganti dengan bisik-bisik yang tak terlalu halus untuk diabaikan. Aku tidak perlu bertanya, aku tahu mereka sedang membicarakanku.
"Jelita, kamu benar-benar sudah berubah, ya," ujar Kimi yang menghadang jalanku dengan nada mengejek, tangannya terlipat di depan dada.
"Siapa sangka ratu sekolah kita ternyata diam-diam berteman dengan si cupu?"
Gelak tawa kecil terdengar dari beberapa sudut. Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi yang mulai berkecamuk. "Kimi, cukup," tegur Gadin, tapi nada suaranya terdengar lemah, nyaris ragu.
Aku dapat melihat wajah angkuh Kimi yang terlihat seperti penyihir. "Cukup? Aku hanya penasaran. Jelita, kamu bilang sendiri kalau kamu tidak mungkin berteman dengannya. Jadi, bagaimana bisa sekarang ada foto kalian berdua yang tertempel di mading? Apa ini semacam eksperimen sosial? Atau kamu hanya sedang bosan berteman dengan kami?"
Aku menatap mereka satu per satu, dada terasa sesak. Aku tahu, jika aku tetap diam, mereka akan menganggap aku mengiyakan semua tuduhan itu. Tapi jika aku berbicara, apa pun yang kukatakan akan menjadi bahan olokan baru bagi mereka.
"Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan," kataku akhirnya, suaraku lebih dingin dari yang kuduga. "Ya, aku berteman dengan Ringga. Dan apa masalahnya? Apakah berteman dengannya merugikan kalian? Atau membuat harga diriku berkurang di mata kalian?"
Kimi terkekeh, melirik ke arah yang lain seakan mencari dukungan. "Jadi kamu benar-benar mengakuinya? Aku tidak percaya, Jelita si ratu sekolah akhirnya jatuh ke level ini."
Aku mengeraskan rahangku. "Level? Aku tidak tahu sejak kapan pertemanan harus diukur dengan status sosial. Aku tidak pernah merasa lebih baik dari siapa pun, dan aku tidak akan membiarkan kalian mendikte dengan siapa aku boleh berteman."
Koridor sekolah seketika sunyi. Bahkan Kimi yang biasanya tak kehabisan kata-kata hanya menatapku dengan ekspresi terkejut. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, memastikan suaraku tetap tegas.
"Jika kalian menganggap persahabatan hanya soal gengsi dan popularitas, maka mungkin aku yang selama ini salah memilih teman."
Aku tidak menunggu jawaban. Aku mengambil langkah mantap, lalu berjalan menuju kelas dengan kepala tegak. Aku tidak akan membiarkan mereka membuatku merasa bersalah karena memilih berteman dengan seseorang yang tulus. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar bebas.
Aku berjalan cepat meninggalkan mereka semua, rasa kesal berdesakan di dadaku seperti ombak yang terus menerjang karang. Gumaman, bisikan, bahkan tawa kecil yang tertahan masih terdengar di belakangku. Aku tidak peduli. Mereka semua terlalu kekanak-kanakan. Seakan berteman dengan seseorang yang tidak masuk dalam lingkaran mereka adalah kejahatan besar.
"Jelita!" Aku tahu itu suara Gadin, memanggil dari belakang, langkahnya terburu-buru, sepatunya bergesekan dengan lantai koridor.
Aku mempercepat langkah, tapi dia lebih cepat. Tangannya menarik lenganku, memaksaku berhenti. "Jelita, tunggu dulu!"
Aku membuang napas kasar. "Apa lagi? Mau ikut mengejek juga?"
Gadin mengernyit. "Kamu pikir aku sepicik itu?"
Aku menoleh, menatapnya tajam. Matanya yang biasanya jenaka kini justru menyiratkan kesungguhan. Aku mendengus, merapatkan lengan di dada. "Lalu apa? Mau ceramah soal bagaimana aku harus menerima ini dengan lapang dada?"
Gadin menggeleng, wajahnya tetap tenang. "Aku hanya ingin kasih tahu sesuatu." Aku mengangkat alis, menunggunya melanjutkan.
"Biasanya jam segini Ringga sudah duduk di kursinya. Tapi, aku rasa ia tak hadir hari ini. Dan aku teringat niatmu untuk minta maaf. Aku pernah beberapa kali melihat Ringga di perpustakaan umum dekat rumahku," katanya, nada suaranya lebih pelan. "Mungkin dia ada di sana hari ini."
Aku terdiam. Perpustakaan umum? Kenapa aku tidak terpikir soal itu? Tentu saja, Ringga selalu tenggelam dalam buku, tempat yang paling masuk akal untuk mencarinya adalah di sana.
Sebuah suara melengking menginterupsi lamunanku. "Jelita, Gadin, ke kelas!" Itu suara Bu Martha, pagi-pagi sekali sudah marah-marah. Aku langsung melangkah, diikuti Gadin di sampingku.
Di dalam kelas, suasana terasa lebih tenang. Tidak ada tatapan mencemooh, tidak ada bisik-bisik menyebalkan. Aku menghela napas lega.
"Baik, hari ini saya sudah menilai tugas kalian," kata Bu Martha sambil membagikan kertas-kertas tugas yang dikoreksi. Aku menyandarkan tubuh ke kursi, pasrah. Pasti nilaiku buruk lagi. Aku tidak akan terkejut jika mendapatkan angka yang memalukan.
Namun, ketika lembar tugas itu sampai ke tanganku, aku membeku. Aku berkedip beberapa kali, memastikan aku tidak salah lihat. "Delapan puluh lima?" gumamku lirih.
"Bagus, kamu sudah menunjukkan peningkatan yang sangat baik, Jelita," kata Bu Martha dengan nada puas. "Kalau kamu terus seperti ini, saya yakin kamu bisa lebih baik lagi."
Aku merasakan sesuatu yang hangat di dadaku. Ini pertama kalinya aku mendapat nilai setinggi ini di Matematika. Aku tahu ini bukan hanya hasil usahaku sendiri. Aku ingat betul malam-malam yang kuhabiskan bersama Ringga, berusaha memahami rumus-rumus yang sebelumnya tampak seperti bahasa alien. Aku mengeratkan genggaman di atas kertas itu. Aku harus menemui Ringga. Aku harus meminta maaf.
Langit sore merekah jingga saat aku dan Gadin melangkah keluar dari gerbang sekolah. Matahari perlahan turun ke peraduannya, menyisakan sinar keemasan yang menerpa wajahku dengan lembut. Angin sore berembus pelan, membawa aroma dedaunan basah setelah hujan tadi pagi. Aku menggenggam tali tas dengan erat, seakan pegangan itu bisa menguatkan hatiku yang tengah bergetar.
"Kamu yakin mau ke sana sekarang?" tanya Gadin, berjalan di sampingku dengan tangan terselip di saku roknya. Suaranya terdengar ringan, tetapi ada sorot khawatir di matanya. "Kamu tidak ingin berpikir dua kali dulu?"
Aku menggeleng. "Kalau aku menunda lagi, mungkin aku tidak akan pernah melakukannya. Aku harus minta maaf."
Gadin tersenyum tipis, lalu menghela napas. "Baiklah, aku akan mengantarmu sampai depan perpustakaan. Tapi aku tidak bisa ikut masuk, aku ada urusan lain."
Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut. "Urusan apa?"
Ia mengangkat bahu santai. "Ada beberapa hal yang harus aku lakukan. Lagi pula, ini urusanmu dengan Ringga, bukan urusanku."
Aku mengangguk pelan. Bagaimanapun, ini memang harus kuselesaikan sendiri. Kami berjalan dalam diam untuk beberapa saat, hanya suara langkah kaki kami yang terdengar di trotoar. Saat tiba di depan perpustakaan umum, aku mendongak menatap bangunan tua dengan dinding krem pudar dan jendela besar yang memperlihatkan rak-rak kayu yang penuh dengan buku. Tempat ini memiliki aroma khas, yaitu perpaduan antara kertas tua dan ketenangan yang mengundang.
"Baiklah, aku sampai di sini saja," ujar Gadin, menghentikan langkahnya. Ia menepuk pundakku ringan. "Semoga berhasil, Ta. Jangan sampai menyesal!”
Di sinilah aku. Kini tinggal satu langkah lagi menuju Ringga. Aku berdiri di depan perpustakaan umum dengan hati yang berdebar tak menentu. Angin sore berembus lembut, menyapu wajahku dengan kesejukan yang seharusnya menenangkan, tapi tetap saja jantungku tak berhenti berdegup kencang. Ini hanya perpustakaan, hanya sebuah gedung dengan rak-rak berisi buku, tempat yang sunyi, bukan arena perang atau panggung penghakiman.
Entah mengapa, kakiku terasa berat melangkah, seolah ada ribuan pasang mata yang siap menghakimi langkahku. Apa yang kulakukan di sini? Mengapa aku harus merasa seperti ini hanya karena ingin meminta maaf kepada seseorang? Orang-orang datang ke sini untuk membaca, untuk belajar, dan aku berdiri di sini seperti seorang pesakitan yang menanti vonis.
Aku meneguk ludah, berusaha menenangkan debaran di dadaku. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Belum tentu Ringga ada di dalam. Bisa saja Gadin salah. Mungkin ia tidak datang hari ini. Mungkin aku hanya akan mendapati ruangan kosong dan petugas perpustakaan yang sibuk mencatat data pengunjung. Tapi kalaupun ia ada, apa yang akan kulakukan? Aku sudah memikirkan berbagai skenario dalam kepalaku, tetapi semuanya terasa tak cukup meyakinkan. Bagaimana kalau ia menolak berbicara denganku? Bagaimana kalau ia menganggapku terlalu terlambat untuk menebus kesalahanku? Bagaimana kalau semua ini hanya upaya sia-sia yang takkan mengubah apa pun?
Aku menarik napas dalam, mencoba menekan segala kecamuk yang memenuhi pikiranku. Ini hanya Ringga. Hanya seorang teman sekelas yang kebetulan pintar Matematika, seseorang yang selama dua tahun nyaris tak pernah bicara denganku. Ia bukan orang yang berbahaya. Ia tidak akan menyakitiku. Tapi mengapa rasanya seperti aku akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pertemuan biasa? Mengapa hatiku berdesir aneh, seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa bersalah yang mendesakku untuk datang ke sini? Aku ingin memperbaiki semuanya, itu saja. Aku tidak mau kehilangan seseorang yang, tanpa kusadari, mungkin lebih berarti daripada yang selama ini kupikirkan.
Aku mengalihkan pandangan ke langit yang mulai memerah, matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Aku tak bisa berdiri di sini selamanya. Kalau aku terus menunda, maka aku tak akan pernah tahu apakah aku benar-benar bisa memperbaiki semuanya atau tidak. Aku melangkahkan kaki, melewati pintu kaca perpustakaan, aroma khas buku tua langsung menyergap hidungku. Langkahku masih ragu, tetapi aku harus melangkah. Aku harus menemukan Ringga dan berbicara dengannya. Aku harus membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan lari lagi dari kesalahan yang kubuat.
Sebuah harapan kecil menyelinap di hatiku, hanya mungkin, Ringga akan memberiku kesempatan. Mungkin aku bisa mengatakan semua yang ingin kukatakan. Dan mungkin, semua ini akan berakhir lebih baik dari yang aku bayangkan. Tapi untuk sekarang, aku harus menemukannya dulu. Dengan tekad yang setengah kuat, setengah goyah, aku mulai
melangkah lebih dalam ke perpustakaan, menelusuri rak demi rak dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Gedung perpustakaan ini tidak besar, hanya memiliki beberapa rak tinggi yang dijejali buku-buku tua dengan aroma khas kertas yang mulai menguning. Aku sudah menyisir setiap sudut ruangan, berharap menemukan sosok Ringga di balik meja atau sibuk dengan catatannya. Namun, yang kutemukan hanyalah bangku kosong dan keheningan yang tak menyenangkan. Hatiku mencelos.
Aku menarik napas dalam, berusaha mengabaikan rasa kecewa yang mulai menggerogoti perasaanku. Seharusnya aku tidak terlalu berharap. Kenapa aku bisa sekhawatir ini hanya karena seseorang yang bahkan belum lama kukenal lebih dalam? Kenapa orang yang baru dekat seminggu bisa membuat dampak sebesar ini? Aku menggigit bibir, menahan rasa jengkel pada diri sendiri. Seharusnya aku tak sebegitu terganggu.
Aku menghempaskan tubuh ke kursi terdekat dan memejamkan mata sejenak. Ringga tidak ada di sini, dan itu seharusnya bukan masalah besar. Tapi kenapa rasanya seperti dunia menolak memberikan kesempatan untukku memperbaiki segalanya? Aku menyesal pernah bersikap begitu kejam di kantin. Aku ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa aku tak pernah benar-benar menganggapnya rendah. Tapi jika Ringga terus menghindar, bagaimana aku bisa melakukannya?
Aku menatap lurus ke depan, membiarkan pikiranku berkelana ke masa-masa sebelum semua ini menjadi rumit. Dulu, aku bahkan tidak peduli keberadaannya. Sekarang, ketiadaannya malah menjadi masalah bagiku. Dunia ini sungguh aneh. Mungkin, ini caraku untuk belajar bahwa tidak semua orang bisa diperlakukan sesuka hati dan tetap tinggal seolah tak terjadi apa-apa.
Aku menghela napas berat. Jika memang aku tak bisa bertemu Ringga hari ini, maka aku harus menemukan cara lain. Aku tak mau menyerah hanya karena satu kebetulan yang tidak berpihak padaku. Kalau dunia memang tidak memberiku kesempatan, aku akan menciptakannya sendiri.
"Ta?"
Aku menoleh dengan cepat saat suara itu terdengar, seolah namaku yang baru saja disebut telah menarikku kembali ke realitas. Hatiku berdegup kencang, dan entah bagaimana, udara di sekitar terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku mengenali suara itu, suara yang beberapa hari terakhir berusaha kuhindari, tetapi juga yang ingin sekali kudengar. Ringga berdiri di sana, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, memandangku dengan tatapan bingung.
Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka suara, mengabaikan fakta bahwa kami masih berada di perpustakaan.
"Maaf! Aku minta maaf! Aku benar-benar minta maaf!" Ucapanku meluncur seperti rentetan peluru, terburu-buru dan tanpa jeda. Aku meremas jemariku sendiri, berharap itu dapat meredam kegugupanku.
"Aku tidak bermaksud mempermalukanmu di kantin. Aku tidak bermaksud membiarkan mereka mengatakan hal-hal buruk tentangmu. Aku tidak tahu kenapa aku begitu pengecut! Aku seharusnya tidak mengabaikanmu, aku seharusnya tidak pura-pura tidak mengenalmu! Aku seharusnya—"
Ringga tertawa.
Aku terdiam seketika. Kepalaku yang menunduk perlahan terangkat, dan aku menatapnya dengan mata melebar. Dia tertawa? Apa yang lucu dari semua ini?
"Kamu kenapa malah tertawa?" Aku mendengus, merasa sedikit tersinggung. "Aku sedang serius di sini." Ringga justru tertawa lebih keras. Tawa yang sama persis ketika kita berada di perpustakaan sekolah. Suaranya bergema pelan di antara rak-rak yang sunyi, membuat beberapa pengunjung lain menoleh dengan tatapan heran.
"Aku hanya …" Ringga menarik napas panjang, mencoba mengendalikan tawanya. "Aku tidak menyangka kamu akan meminta maaf seperti ini. Kamu bahkan sampai menangis."
Barulah aku menyadari bahwa mataku memang terasa panas dan lembap. Aku menyeka pipiku dengan cepat, merasa semakin malu. "Itu bukan karena aku terlalu peduli! Aku hanya … aku hanya merasa bersalah!"
Ringga tersenyum, kali ini lebih lembut. "Aku tahu."
Aku terdiam. "Jadi … kamu tidak marah?"
"Aku tidak pernah benar-benar marah," jawabnya santai. "Aku hanya butuh waktu untuk menjauh, supaya aku bisa berpikir lebih jernih. Lagipula, aku tidak masuk sekolah bukan karena masalah mading itu. Aku memang sudah izin ke Bu Wina untuk tidak masuk hari ini. Aku butuh beberapa referensi untuk lomba, dan buku-buku yang kubutuhkan kebetulan ada di sini. Itu sebabnya aku sering ke perpustakaan ini."
Aku tertegun. Jadi, selama ini dia tidak sedang menghindariku? Aku datang jauh-jauh ke sini, diliputi rasa bersalah yang berkecamuk, hanya untuk mengetahui bahwa Ringga baik-baik saja? Aku merasa begitu bodoh.
Seolah membaca pikiranku, Ringga tersenyum kecil. "Tapi aku senang kamu mencariku. Aku tidak menyangka kamu akan sejauh ini hanya untuk memastikan aku baik-baik saja."
Aku menundukkan kepala, merasa pipiku mulai memanas. "Aku hanya … ya … aku hanya merasa tidak tenang kalau tidak segera meminta maaf."
"Bagaimanapun, terima kasih," ucapnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Aku menghargai itu."
Aku menggigit bibir, menatap ke arah lain untuk menghindari tatapan hangatnya. "Jangan salah paham. Aku hanya ingin menghapus rasa bersalahku. Itu saja."
Ringga mengangguk, tetapi senyum itu masih tersisa di wajahnya. "Baiklah, kalau begitu. Tapi tetap saja, aku senang."
Aku tidak bisa menjawab. Meskipun aku ingin menyangkal bahwa ini tidak lebih dari sekadar tanggung jawab moral, aku tidak bisa mengabaikan rasa lega yang perlahan menggantikan kecemasanku. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, aku bisa bernapas lebih mudah.
Ringga lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Terima kasih, Jelita. Aku menghargainya.”
Terkadang, manusia baru menyadari nilai sesuatu ketika hampir kehilangannya. Kita terlalu sibuk menjaga citra, terlalu takut dengan pandangan orang lain, hingga lupa bahwa perasaan tulus tidak seharusnya dikotori gengsi. Mungkin dunia tidak menolak kami untuk berbaikan. Mungkin, dunia hanya menunggu waktu yang tepat.
SELESAI
Comments