Friend?
- Aisyah Putri
- 26 Feb
- 20 menit membaca
Namaku Alina Calvy Bargan. Anak terakhir dari pemilik Bargan’s Company. Aku memiliki kakak kembar yang berbeda gender —Kak Vina dan Bang Vino. Keluargaku tinggal di salah satu komplek elit yang terletak di Jakarta Selatan. Aku dan kakak kembarku bersekolah di salah satu sekolah bergengsi yang ada di sana. Sekarang, aku menduduki kelas 12 SMA. Fisik yang ideal, otak yang cerdas, serta kondisi ekonomi yang lebih dari mencukupi membuat kehidupan kami begitu sempurna. Aku memiliki sebuah geng yang berisi cewek-cewek populer di sekolah—aku, Mayra, Asha, Nafeeza, Noorah dan Lyla. Aku juga memacari cowok paling populer di sekolah yang bernama Yasa Aziel Ardhias.
Tetapi, kehidupan yang sempurna itu hilang begitu saja pada suatu malam ketika aku diberitahu bahwa ayahku terjerat kasus korupsi. Saat itu aku merasa bahwa dunia memang tidak sebaik yang aku kira. Benar yang orang-orang katakan bahwa hidup itu seperti roda, yang tadinya aku merasa bahwa aku berada di atas angin, sekarang aku merasa seperti berada lebih rendah daripada tanah. Hari pertama aku masuk sekolah setelah kasus yang menjerat ayahku berjalan dengan tidak baik.
***
Ini pertama kalinya aku naik ojek online untuk berangkat sekolah. Biasanya, Yasa yang akan mengantar jemput aku dengan ferrari miliknya. Tetapi, entah kenapa Yasa dan teman-temanku yang lain tidak bisa dihubungi sejak semalam. Sesampainya di sekolah, aku bergegas pergi ke kelasku untuk menghampiri teman-temanku. Selama perjalanan menuju ke kelas, aku merasa orang-orang memperhatikanku dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Ah, mungkin itu perasaanku saja. Sepertinya aku terlalu memikirkan kasus Papa. Pikirku.
Ketika aku sampai di kelas, aku langsung menghampiri meja tempat teman-temanku berkumpul dan menyapa mereka. “Hey girls, lagi pada ngomongin apa nih?” Tanyaku. Mereka semua menoleh ke arahku dan menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku pahami. Noorah berbicara kepadaku. “Sorry to say, but kayaknya lo gak bisa gabung circle kita lagi deh. Karena kan bokap lo kena kasus korupsi dan semua harta keluarga lo disita, yang berarti sekarang lo miskin. Hahahaha...” Asha menekankan kata ‘miskin’ dan mereka semua mentertawakanku.
“You guys just joking, right? Gue bakal tanya ke pacar gue kalau semua ini cuma prank.” Tepat setelah aku mengatakan hal itu, Yasa datang seraya berkata, “FYI, lo sudah gak punya pacar. Karena, mulai detik ini kita resmi putus.” Reflek aku menggenggam lengan Yasa dan bertanya kepadanya. “Why, babe? Kenapa tiba-tiba putus?” Yasa menepis tanganku lalu mendorongku sampai aku terjatuh. “lo masih bisa tanya kenapa? Heh, ya kali gue pacaran sama cewek miskin kayak lo!” Ujarnya seraya menunjuk ke arahku.
Bel berdering tepat setelah Yasa pergi meninggalkan kelasku. Mungkin dia akan pergi ke kelasnya yang berjarak dua ruangan dengan kelasku, atau mungkin dia akan bolos sekolah dan pergi entah kemana. Berdasarkan pengalamanku berpacaran hampir 2 tahun dengannya, aku yakin dia akan melakukan hal yang kedua.
Aku hendak menaruh tasku di tempat yang biasa aku duduki, tetapi batal dikarenakan aku melihat tas milik Lyla berada di tempat itu. Mengerti akan apa yang terjadi, aku mencari tempat duduk yang kosong dan menemukannya di barisan paling belakang. Waktu berjalan sangat lambat tanpa adanya teman-teman yang biasa mewarnai hari-hariku. Sudah terasa berjam-jam hingga akhirnya bel istirahat berbunyi. Aku mengeluarkan bekalku dari tas dan memakannya.
Perkataan Lyla memang benar. Kasus yang menjerat ayahku membuat harta keluargaku disita. Mulai sekarang, keluargaku harus berhemat walaupun uang tunai yang disimpan ibuku cukup untuk keperluan kami 3 tahun ke depan. Kata Mama, “Kita tak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. So, better prepare for the worst.”
Detik demi detik berlalu. Aku pulang ke rumah baruku dengan ojek online. Sebenarnya, itu adalah rumah peninggalan kakek dan nenekku yang memang diwariskan kepada Mama. Rumah itu cukup luas walaupun tidak bertingkat. Terdapat ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur, dan satu kamar mandi dalam rumah tersebut. Rumah ini juga memiliki teras yang lumayan kecil yang biasa digunakan Mama untuk menjemur.
“Assalamualaikum Mama. Alina pulang.” Ucapku ketika memasuki rumah.
“Waalaikumsalam. Sini sayang, Mama di dapur.” Aku pun bergegas ke dapur untuk menemui Mama. Aku melihat Mama sedang sibuk dengan adonan kuenya.
“Ini untuk apa Mama? Tumben Mama bikin kue.” Kataku setelah mencium tangan Mama
“Mulai sekarang, Mama buka jasa bikin kue. Alhamdulillah sudah ada yang pesan, berkat teman-teman Mama yang ikut bantu promosi.” Jelas Mama. Kami sekeluarga tahu jika Mama sangat berbakat dalam bidang memasak. Tak kusangka, bakat itu akan membantu keluarga ini.
“Wah, aku boleh bantu gak Ma? Boleh ya?” Pintaku dengan penuh harap.
“Kamu kan baru pulang sekolah, mending bersih-bersih dulu deh. Nanti adonan Mama jadi bau gara-gara kamu.” Ucap Mama seraya mendorongku pelan.
“Ih, Mama. Ya udah, habis mandi aku bantu Mama yaa.” Kataku dengan penuh semangat
“Iya sayang, sana gih mandi” Kata Mama
“Thank you Mama. I love you.” Aku mengecup pipi kanan Mama sebelum berlari keluar dari dapur.
***
Waktu demi waktu berlalu, aku mulai terbiasa dengan kehidupanku yang baru. Meskipun, aku terkadang merindukan kehidupanku sebelum kasus yang menjerat Papa datang ke hidupku. Seperti malam ini, aku duduk sendirian di ayunan yang berada di taman dekat rumahku. Jika aku sedang sedih, aku bisa duduk sendirian di sini sampai larut malam. Awalnya, keluargaku mengkhawatirkanku karena pulang larut malam. Tetapi, lama-kelamaan mereka membiarkanku karena mereka percaya bahwa aku tidak akan berbuat macam-macam.
Aku merindukan kehidupan lamaku. Aku rindu rumahku, aku rindu kamarku, aku rindu kasurku yang empuk. Aku juga merindukan teman-temanku dan Yasa. Dan yang paling aku rindukan adalah Papa. Aku rindu masa-masa Papa ada di sisiku. Aku rindu canda tawa Papa. Aku rindu pelukan hangat Papa. Walaupun aku dapat menjenguk Papa dua kali dalam seminggu, tentu saja rasanya berbeda.
Aku menengadahkan kepalaku ke atas dan memejamkan mata. Tidak. Aku tidak menangis. Mataku sudah cukup lelah untuk sekedar meneteskan air mata. Aku hanya ingin meresapi kesedihan yang aku rasa. Tiba-tiba aku tersadar bahwa 2 minggu lagi ujian akhir semester akan berlangsung. Aku memutuskan untuk pulang supaya aku tidak tidur terlalu larut. Aku harus menjaga kesehatanku supaya tidak sakit saat masa ujian nanti.
Keesokannya berjalan seperti biasa. Aku sarapan lalu berpamitan pada Mama untuk berangkat sekolah. Kak Vina masih tidur karena dia kuliahnya sedang libur, sedangkan Bang Vino sudah berangkat pagi-pagi sekali. Akhir-akhir ini Bang Vino selalu pulang larut malam dan berangkat dini hari. Hal itu dapat kami maklumi karena Bang Vino ikut andil dalam menyelidiki kasus Papa walaupun dia belum mendapatkan gelar sarjana hukumnya secara resmi.
Sesampainya di kelas, aku berjalan menuju tempat dudukku dan mengeluarkan buku pelajaran dari tasku. Saat aku duduk di kursi, aku terkejut melihat Mayra, Asha, Nafeeza, Noorah dan Lyla menghampiri mejaku.
“Alina, we’re apologize for what we did last time. Sebagai permintaan maaf dari kita, lo diizinkan untuk bergabung kembali dengan circle ini.” Ucap Asha dan diikuti oleh tepuk tangan dari yang lain. Tentu saja aku terkejut dengan pernyataan tiba-tiba darinya.
“Hah? Ini beneran? Kalian ngajak gue bergabung ke circle kalian secara tiba-tiba? Sumpah, gak lucu banget kalo ini cuma jokes.” Kataku dengan perasaan terkejut bercampur semangat.
“Of course it’s not a joke. But, nothing’s free. Kan sebentar lagi ujian, dan sudah mulai banyak ulangan harian. Bagaimana kalau sebagai gantinya lo harus kasih kita contekan setiap ada ulangan, deal?” Ujar Lyla. Lagi-lagi aku terkejut. Mereka dengan mudahnya menjatuhkanku setelah menerbangkanku tinggi-tinggi. Aku pun tersadar akan posisiku. Aku tahu diri bahwa diriku dan mereka sudah tidak berada dalam satu level. Tapi bukankah ini yang aku mau? Kembali berteman bersama mereka? Pada akhirnya, aku pun menjawab pertanyaan Asha setelah berpikir sejenak. “Deal.” Kataku.
Bel masuk berdering membuat seisi kelas kembali duduk di tempatnya masing-masing. Mayra dan teman-temannya sempat menoleh ke arahku sambil tersenyum. Saat itu aku dapat membedakan antara senyum licik, senyum palsu, dan senyum yang tulus. Dan sepengetahuanku, di antara mereka tidak ada yang memberikanku senyum yang tulus.
Ketika istirahat, aku tidak lagi makan bekal sendirian. Mulai sekarang, aku makan bersama mereka di tempat kami biasa berkumpul. Meskipun aku masih merasa tidak dianggap, tetapi lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan situasi ini dan merasa bahwa aku kembali menjadi bagian dari mereka.
***
Suatu hari, Bang Vino pulang lebih cepat dari biasanya. Dia menghampiriku yang sedang belajar sendirian di ruang tamu.
“Alina sendirian aja? Yang lain mana?” Tanyanya seraya mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
“Kak Vina belum pulang, Mama sudah ke kamar duluan.” Jujur, aku merindukan saat-saat dimana aku mengobrol bersama Bang Vino. Kesibukan Bang Vino membuat aku jarang bertemu dengannya. Dan entah kenapa, keadaan itu membuat aku menjadi canggung dengannya.
“Tumben Vina pulang telat, kenapa dia?” Tanya Bang Vino.
“Akhir-akhir ini Kak Vina memang sering pulang telat sih, Bang. Katanya sih ada tugas kuliah gitu. Kenapa, Bang?” Ucapku. Bang Vino hanya bergumam pelan lalu berkata, “Gapapa. Sini dong, duduk samping abang. Udah lama loh kita gak ngobrol berdua kayak gini.” Bang Vino menepuk sofa di sampingnya. Aku yang sedari tadi duduk di bawah pun beranjak untuk duduk di samping abangku itu.
“Kamu ada cerita apa di sekolah? Ceritain dong, abang kangen dengar cerita-cerita kamu.” Dengan ragu, aku pun menceritakan semua permasalahanku di sekolah sejak Papa terjerat kasus korupsi. Bang Vino tampak mendengarkan ceritaku dengan saksama. Ia bahkan tidak berhenti melakukan kontak mata denganku. Setelah aku selesai mendengarkan ceritaku, Bang Vino tampak mengangguk-angguk.
“Jadi, sekarang kamu tetap berteman dengan mereka walau kamu tahu mereka itu cuma manfaatin kamu?” Tanya Bang Vino padaku. Aku diam sejenak memikirkan jawaban dari pertanyaan Bang Vino. Apakah aku tetap berteman dengan mereka walau mereka memanfaatkanku?
“Iya. Tapi, aku merasa kalau keadaan itu menguntungkan kedua belah pihak. Aku dapat teman dan mereka dapat jawaban. That’s sounds fair, right?” Jelasku.
“Ya meskipun aku merasa kalau aku tidak sepenuhnya dianggap oleh mereka. Ada saat-saat dimana aku merasa tidak terlihat oleh mereka. Ketika aku berbicara, mereka memberi respon seadanya tanpa ada rasa ketertarikan sama sekali. Ketika mereka akan pergi ke suatu tempat, mereka tidak peduli apakah aku ikut atau tidak. dan itu sangat sering terjadi.” Sambungku. Aku menghembuskan napas pelan menyadari bahwa pertemananku selama ini tidak terasa seperti teman.
“Abang sih terserah kamu aja mau gimana. Yang menjalin pertemanan kan kamu, yang tahu baik-buruknya cuma kamu. Tapi, kalau kamu sudah merasa capek berhenti aja. Jangan melakukan sesuatu yang nantinya berdampak buruk buat diri kamu sendiri, oke?” Kata Bang Vino. Aku hanya mengiyakan perkataan abangku itu.
“Dan, satu lagi. Kamu itu kalo ngobrol sama abang jangan jadi baku gini. It feels more like a teacher and his student, not a brother and his sister. Paham?” Bang Vino mencubit hidungku pelan.
“Paham Bang. Hehe...” Sahutku disertai dengan cengiran. Seketika, Bang Vino menunjukkan kunci mobil tepat di depan wajahku.
“Gak usah nanya ini mobil siapa dan dapat dari mana, yang penting malam ini abang akan izinin kamu pergi kemana pun kamu mau.” Aku memeluk Bang Vino dengan erat saking senangnya. Aku tak tahu Bang Vino mendapatkan uang dari mana. Mungkin itu adalah tabungannya, karena Bang Vino adalah tipe orang yang rajin menabung sejak kecil.
Malam ini aku dapat tertawa lepas tanpa memikirkan masalah-masalah yang datang di hidupku. Malam ini mungkin adalah malam yang paling bahagia seumur hidupku. Aku dan Bang Vino pergi ke tempat-tempat yang dulu biasa kami kunjungi. Kami bersenang-senang sampai tidak menyadari bahwa malam sudah sangat larut. Kami pun pulang ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
***
Suatu hari, Bang Vino pulang lebih cepat dari biasanya. Dia menghampiriku yang sedang belajar sendirian di ruang tamu.
“Alina sendirian aja? Yang lain mana?” Tanyanya seraya mengusap puncak kepalaku dengan lembut.
“Kak Vina belum pulang, Mama sudah ke kamar duluan.” Jujur, aku merindukan saat-saat dimana aku mengobrol bersama Bang Vino. Kesibukan Bang Vino membuat aku jarang bertemu dengannya. Dan entah kenapa, keadaan itu membuat aku menjadi canggung dengannya.
“Tumben Vina pulang telat, kenapa dia?” Tanya Bang Vino.
“Akhir-akhir ini Kak Vina memang sering pulang telat sih, Bang. Katanya sih ada tugas kuliah gitu. Kenapa, Bang?” Ucapku. Bang Vino hanya bergumam pelan lalu berkata, “Gapapa. Sini dong, duduk samping abang. Udah lama loh kita gak ngobrol berdua kayak gini.” Bang Vino menepuk sofa di sampingnya. Aku yang sedari tadi duduk di bawah pun beranjak untuk duduk di samping abangku itu.
“Kamu ada cerita apa di sekolah? Ceritain dong, abang kangen dengar cerita-cerita kamu.” Dengan ragu, aku pun menceritakan semua permasalahanku di sekolah sejak Papa terjerat kasus korupsi. Bang Vino tampak mendengarkan ceritaku dengan saksama. Ia bahkan tidak berhenti melakukan kontak mata denganku. Setelah aku selesai mendengarkan ceritaku, Bang Vino tampak mengangguk-angguk.
“Jadi, sekarang kamu tetap berteman dengan mereka walau kamu tahu mereka itu cuma manfaatin kamu?” Tanya Bang Vino padaku. Aku diam sejenak memikirkan jawaban dari pertanyaan Bang Vino. Apakah aku tetap berteman dengan mereka walau mereka memanfaatkanku?
“Iya. Tapi, aku merasa kalau keadaan itu menguntungkan kedua belah pihak. Aku dapat teman dan mereka dapat jawaban. That’s sounds fair, right?” Jelasku.
“Ya meskipun aku merasa kalau aku tidak sepenuhnya dianggap oleh mereka. Ada saat-saat dimana aku merasa tidak terlihat oleh mereka. Ketika aku berbicara, mereka memberi respon seadanya tanpa ada rasa ketertarikan sama sekali. Ketika mereka akan pergi ke suatu tempat, mereka tidak peduli apakah aku ikut atau tidak. dan itu sangat sering terjadi.” Sambungku. Aku menghembuskan napas pelan menyadari bahwa pertemananku selama ini tidak terasa seperti teman.
“Abang sih terserah kamu aja mau gimana. Yang menjalin pertemanan kan kamu, yang tahu baik-buruknya cuma kamu. Tapi, kalau kamu sudah merasa capek berhenti aja. Jangan melakukan sesuatu yang nantinya berdampak buruk buat diri kamu sendiri, oke?” Kata Bang Vino. Aku hanya mengiyakan perkataan abangku itu.
“Dan, satu lagi. Kamu itu kalo ngobrol sama abang jangan jadi baku gini. It feels more like a teacher and his student, not a brother and his sister. Paham?” Bang Vino mencubit hidungku pelan.
“Paham Bang. Hehe...” Sahutku disertai dengan cengiran. Seketika, Bang Vino menunjukkan kunci mobil tepat di depan wajahku.
“Gak usah nanya ini mobil siapa dan dapat dari mana, yang penting malam ini abang akan izinin kamu pergi kemana pun kamu mau.” Aku memeluk Bang Vino dengan erat saking senangnya. Aku tak tahu Bang Vino mendapatkan uang dari mana. Mungkin itu adalah tabungannya, karena Bang Vino adalah tipe orang yang rajin menabung sejak kecil.
Malam ini aku dapat tertawa lepas tanpa memikirkan masalah-masalah yang datang di hidupku. Malam ini mungkin adalah malam yang paling bahagia seumur hidupku. Aku dan Bang Vino pergi ke tempat-tempat yang dulu biasa kami kunjungi. Kami bersenang-senang sampai tidak menyadari bahwa malam sudah sangat larut. Kami pun pulang ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
***
Masa-masa ujian berjalan dengan lancar. Aku dapat menyelesaikan soal dengan mudah, aku dan teman-teman juga tidak pernah ketahuan oleh guru. Ujian ditutup oleh PKN, Bahasa Indonesia, juga Ekonomi. Ketiga mata pelajaran tersebut lumayan menguras otak, tapi aku dapat menjawab semua soalnya. Terkadang, aku kesal dengan mereka yang mencontek. Mereka dapat menjawab dengan mudah dan benar tanpa perlu berpikir. Tetapi, aku tidak bisa melaporkan mereka karena aku termasuk salah satu yang memberikan contekan pada mereka.
Tak terasa, hari pembagian rapor telah tiba. Aku datang bersama Mama ke sekolah. Biasanya, Papa yang selalu menyempatkan waktu untuk mengambil raporku. Tetapi karena Papa sedang berada di sel penjara, tidak mungkin baginya untuk mengambil raporku.
“Nilai-nilai Alina di ujian ini sedikit menurun. Bahkan yang biasanya Alina selalu juara 1, turun jadi juara 2.” Ucap wali kelasku ketika pengambilan rapor.
“Oh iya, Bu. Maaf ya, Bu. Kayaknya akhir-akhir ini Alina agak susah buat konsentrasi sama pelajaran, terlalu mikirin masalah yang menimpa keluarganya.” Kata Mama.
“Iya. Gapapa, Bu. Saya maklum.” Ucap Bu Mela—wali kelasku.
“Untuk Alina, tetap semangat ya nak. Ibu tahu ayah kamu itu orang baik, gak mungkin beliau melakukan hal sekeji itu.” Sambung Bu Mela. Aku tahu bahwa perkataannya itu semata-mata hanya untuk menghiburku saja. Sebenarnya, Bu Mela percaya jika ayahku itu korupsi. Aku pun hanya membalas perkataannya dengan senyuman.
Sesampainya di rumah, Mama berbicara kepadaku. “Alina sayang, kamu jangan terlalu mikirin hal-hal yang tidak perlu kamu pikirin. Lihat tuh, nilai-nilai kamu jadi turun semua karena kamu gak fokus. Kali ini dijadiin pelajaran aja, ya. Lain kali jangan diulangi lagi.” Aku mengiyakan perkataan Mama dan pamit pergi ke kamar.
Dalam keluargaku, Mama yang paling menuntut anak-anaknya untuk mendapatkan nilai bagus. Walaupun beliau tidak menyuruh aku dan kedua kakakku untuk belajar setiap saat, tapi Mama akan menegur kita jika ada nilai yang turun. Kejadian tadi membuatku merasa rindu akan kehadiran Papa di keluarga ini. Biasanya, Papa akan selalu menghibur dan menyemangati anak-anaknya setelah ditegur oleh Mama.
Malam ini, aku pergi ke taman. Aku duduk di salah satu park bench yang terdapat di taman itu. Aku membiarkan masalah-masalah yang terjadi di kehidupanku akhir-akhir ini memenuhi kepalaku. Mulai dari kasus Papa, ekonomi keluarga, masalah pertemanan, dan nilai ujian. Aku juga baru menyadari bahwa hubungan keluargaku terasa renggang.
Dulu, Papa selalu menyuruh kami untuk berkumpul di ruang keluarga tiap malam untuk sekadar mengobrol. Walaupun topik pembicaraan kami tidak jelas arahnya, tapi kami selalu berusaha untuk dapat berkumpul. Jika ada anggota keluarga yang sibuk sehingga tidak bisa ikut berkumpul di malam hari, maka dia harus setidaknya ada di rumah saat hari Minggu.
Sekarang, keluargaku jarang sekali berkumpul. Biasanya, yang ada di rumah hanyalah aku dan Mama. Akhir-akhir ini, Kak Vina sering pulang malam karena mengerjakan tugas di kampusnya. Entah kenapa dia lebih suka mengerjakan tugasnya di kampus daripada di rumah. Bang Vino walaupun terkadang pulang lebih awal dari biasanya, hal itu terjadi sangat jarang. Meskipun ada saat-saat dimana aku, Mama, Kak Vina, dan Bang Vino ada di rumah, kami jarang sekali berkumpul. Ketika hal itu terjadi, pasti aku sedang belajar, Mama sedang membuat kue, Kak Vina sedang tidur, dan Bang Vino entah melakukan apa di kamarnya.
Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan, karena aku merasa pusing dengan isi pikiran yang berkecamuk. Aku lelah dengan semua hal yang terjadi. Aku ingin semua ini cepat selesai. Aku ingin Papa bebas, aku ingin diterima dengan sepenuhnya oleh Asha dan yang lain, aku ingin keluargaku bisa berkumpul lagi untuk sekadar membicarakan hal yang tidak jelas.
“Gak baik cewek sendirian malam-malam begini.” Suara seorang laki-laki memecahkan lamunanku. Entah sejak kapan dia berdiri di hadapanku seraya menyodorkan Le Minerale yang tampaknya masih tersegel.
“Lo kelihatan lelah banget. Nih, minum dulu. Gak gue kasih racun kok.” Aku memandangi air mineral itu sejenak dan mengambilnya dengan ragu sebelum meminumnya.
“Lo siapa?” Tanyaku.
“Manusia.” Katanya sambil tersenyum. Aku menghela napas kesal. Karena merasa kesendirianku terusik, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan meninggalkannya.
Sesampainya di rumah, aku hendak menaruh air mineral yang dikasih laki-laki itu ke dalam kulkas. Saat aku memperhatikan botol tersebut, aku melihat ada sebuah kertas yang tertempel di botol itu. Aneh, kenapa aku baru sadar ya? Pikirku. Aku membaca tulisan yang tertera dalam kertas itu.
Semangat yaa!!
Kamu gak sendirian
Jangan nyerah, kamu pasti bisa
Lucu banget, sih. Batinku. Entah kenapa, aku berfirasat bahwa aku akan bertemu kembali dengan laki-laki itu dan mengetahui namanya. Aku berharap aku bisa berteman baik dengannya. Mood yang tadinya turun, tiba-tiba naik lagi setelah bertemu dengannya. Malam itu aku tidur dengan perasaan yang bahagia.
***
Liburan telah dimulai. Sesuai perkataan Mama sebelum ujian, selama liburan aku boleh kembali membantu Mama membuat kue. Sekarang, aku tidak hanya membuat kue. Terkadang, aku mengantarkan kue-kue itu ke rumah pelanggan menggunakan motor yang dibeli Mama beberapa hari yang lalu dengan harga murah.
Suatu hari, aku mengantarkan satu boks cheesecake ke salah satu rumah bertingkat yang lumayan besar. Sepertinya rumah itu baru dihuni, karena beberapa minggu yang lalu rumah itu masih kosong ketika aku melewatinya. Aku mengetuk pintu segera setelah sampai di depan rumah tersebut. Betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok laki-laki yang membuka pintu. Laki-laki itu sama dengan laki-laki yang memberiku air mineral tempo hari.
“Mama’s Cake ya?” Tanyanya seraya melihat ke arah boks kue yang aku bawa.
“Iya, dengan keluarga Zander?” Tanyaku kembali. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah menatapku dengan tatapan terkejut bercampur senang.
“Lo cewek yang waktu itu di taman kan?” Ucapnya.
“Iya.” Aku memalingkan mukaku karena tidak mau bertatapan dengannya.
“Le Mineralenya masih lo simpen?” Aku sempat gugup mendengar pertanyaannya, tetapi kemudian aku menjawabnya. “Gue buang, kan udah habis.” Ucapku berbohong. Sebenarnya, aku masih menyimpan botol minum tersebut karena tidak mau membuangnya.
“Tapi, kertasnya lo baca kan?” Tanyanya lagi.
“Iya. Makasih quotes-nya. Nih, buruan ambil pesenan lo. Tangan gue pegel.” Aku menyodorkan kue tersebut ke hadapannya. Ia mengambilnya dan berterima kasih kepadaku. Aku bergegas pergi ke motorku dan mendengarnya berteriak. “See you next time! Gue yakin 1000000% kita bakal ketemu lagi.” Setelah kejadian itu, aku menjalani hariku dengan penuh semangat dan kebahagiaan.
***
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah setelah libur akhir semester. Ada siswa baru di kelasku. Tadinya, aku tidak peduli dengannya dan memutuskan untuk melanjutkan membaca buku pelajaran yang sedari tadi aku genggam. Tetapi, suaranya tampak tidak asing di telingaku. Ketika aku menoleh ke arahnya, aku menyadari bahwa dia adalah laki-laki yang akhir-akhir ini memenuhi pikiranku.
“Gue Ryo Delvine Zander. Kalian bisa panggil gue Ryo. Umur gue 18 tahun. Gue suka semua hal yang bersangkutan dengan keju. Kalau kalian butuh pertolongan apapun itu mulai dari anterin sana-sini sampai jadi temen curhat, dateng ke gue aja. Gue bakal bantu sebisa mungkin. Semoga kita bisa jadi teman baik.” Jelasnya.
“Ryo, kamu duduk samping Alina ya. Tuh, yang di belakang sana.” Ucap Bu Mela seraya menunjuk ke arah kursi kosong di sampingku. Memang hanya kursi ini saja yang masih kosong di kelas ini. Ryo berterima kasih pada Bu Mela, lalu dia berjalan ke arah mejaku dan duduk di kursi sampingku yang selama satu semester ke depan akan menjadi tempat duduknya.
“Jadi, nama lo Alina?” Aku hanya membalas pertanyaannya dengan gumaman.
“Nama panjang lo siapa kalau boleh tahu?” Aku menggeser buku tulisku ke mejanya. Di sampul buku tersebut terdapat nama panjangku beserta kelas dan nomor absen.
“Nama lo cantik. Kayak orangnya.” Ucapnya dengan ringan.
“Makasih.” Aku mati-matian berusaha menahan supaya tidak tersenyum. Aku menutupi wajahku dengan buku pelajaran karena aku yakin pipiku sudah memerah.
Tak terasa, bel istirahat berbunyi. Aku melihat Asha dan yang lain hendak pergi ke kantin. Aku menghampiri mereka dan ikut dengan mereka ke kantin. Sesampainya di kantin, aku segera memesan pesanan mereka dan juga pesananku. Berkat Mama’s Cake, sekarang aku sudah tidak lagi membawa bekal. Aku sudah bisa jajan seperti teman-temanku yang lain.
Ketika aku menghampiri meja teman-temanku, aku mendengar mereka sedang bercerita tentang liburan mereka kemarin. Sejujurnya, aku ingin sekali bercerita bahwa sebelumnya aku sudah pernah bertemu dengan Ryo. Tetapi setelah aku pikir-pikir lagi, sepertinya mereka tidak akan tertarik dengan ceritaku. Jadi, aku putuskan untuk mendengarkan cerita-cerita mereka dan ikut tertawa jika ada cerita yang lucu.
“Tau gak sih, girls? Masa gue mau dijodohin.” Sahut Noorah.
“Seriously? Gila, sih. Bukannya ortu lo tau kalau lo pacaran sama Xyan?” Tanya Nafeeza.
“Gak tau tuh bokap gue. Katanya, kalau Xyan gak ngasih keputusan apa-apa sebelum lulus, gue mau dijodohin.” Aku tahu, Noorah dan pacarnya itu sangat mencintai satu sama lain. Akan sangat menyedihkan jika hubungan mereka tidak berakhir bahagia.
“Kenapa lo gak ngomong sama Xyan? Seenggaknya, dia bilang dulu ke bokap lo kalau dia tuh serius sama lo. Minimal sih lamaran.” Ujar Mayra.
“Dia masih di Canada. Nanti deh, kalau dia udah pulang gue bakal ngomong sama dia.” Kata Noorah.
“Btw girls, kalian tuh ngeh gak sih kalo Ryo tuh ganteng banget.” Perkataan Asha membuatku mengingat-ingat wajah Ryo. Benar juga. Kalau diperhatikan, Ryo itu sangat tampan. Hidungnya yang mancung, matanya yang sedikit sipit, bibirnya yang lumayan tebal, dan alisnya yang tidak terlalu tebal tapi juga tidak terlalu tipis membuat wajahnya begitu sempurna. Rambutnya yang bermodel two blocks juga menambah tingkat ketampanannya.
“Lin, lo mau tuker tempat duduk sama gue gak? Lo duduk sama Mayra, gue duduk sama Ryo.” Pinta Asha dengan tatapan penuh harap.
“Gue sih terserah si Ryo. Kalau dia mau, yaudah.” Pelukan tiba-tiba yang diberikan Asha membuat tubuhku membeku.
“Thanks yaa... Thanks banget udah mau tukeran. Lo emang paling baik, deh.” Tukasnya. Aku membalas pelukannya dengan ragu. Beberapa detik kemudian, Asha mengajak kami kembali ke kelas untuk bertemu dengan Ryo. Setelah bertemu Ryo, aku segera memberitahukan padanya bahwa aku dan Asha akan bertukar tempat duduk.
“Gak. Lo gak boleh pindah.” Protes Ryo setelah aku memberitahukan akan hal itu padanya. Jawaban Ryo membuatku kesal.
“Lah, lo siapa ngatur-ngatur gue? Terserah gue dong mau duduk dimana.” Setelah mengatakan hal itu, Ryo menarikku ke tempat yang agak jauh dari Asha dan yang lain.
“Lo tuh sadar gak sih kalau lo cuma dimanfaatin dia supaya bisa duduk bareng gue? Kelihatan banget di kantin tadi kalau mereka itu gak nganggap lo, mereka ngomong sama lo cuma minta tuker tempat.” Tanyanya kepadaku. Aku yang sudah kesal, dibuat semakin kesal oleh pertanyaan yang ia lontarkan.
“Lo kalau gak tahu apa-apa gak usah sok-sokan nasehatin.” Bentakku. Aku bergegas pergi meninggalkannya dan berbicara pada Asha. “Lo langsung pindah aja, setuju atau gak setuju kan bukan hak dia.” Asha tersenyum senang dan segera menukar tasnya dengan tasku. Aku pun mengambil tasku dan duduk di kursi yang Asha tempati sebelumnya.
Di dalam lubuk hatiku, aku tidak mau tukar tempat dengan Asha. Aku terlalu takut untuk menolak ajakannya. Lagipula, aku jadi bisa duduk di dekat Mayra, Lyla, Nafeeza, dan Noorah. Di sampingku ada Mayra, di belakang kami Lyla duduk dengan Nafeeza dan di belakang mereka terdapat Noorah yang duduk sendirian—seharusnya ia duduk bersama Xyan.
Selama sisa waktu pembelajaran, aku beberapa kali menoleh ke arah Ryo dan Asha. Terlihat bahwa Asha berusaha untuk mengobrol bersama Ryo, tetapi tak dihiraukan olehnya. Bahkan, raut wajah Ryo tampak menahan amarah. Entah kenapa, mereka terlihat seperti pasangan yang sedang ada masalah, lalu ceweknya berusaha untuk merayu si cowok supaya tidak marah. Tanpa aku sadari, senyumku mengembang.
“Lo kenapa sih, senyum-senyum sendiri?” Pertanyaan Mayra mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke arahnya dan menatap wajahnya yang menunjukkan ekspresi heran.
“Gapapa. Inget something funny aja tiba-tiba.” Kataku. Mayra hanya ber-oh pelan kemudian ia lanjut menulis.
***
Hari demi hari berlalu. Ternyata, pindah tempat duduk tidak membuatku semakin dekat dengan Mayra, Nalia, Lyla, dan Noorah. Justru, itu membuat mereka lebih mudah untuk mencontekku. Kerap kali mereka asyik mengobrol bertiga dengan intonasi yang pelan tanpa mengajakku. Bahkan, beberapa kali aku merasa mereka membicarakanku.
Suatu malam, aku pergi ke taman untuk melepaskan kejenuhanku akan tugas yang sangat banyak dari para guru. Ada sesuatu yang berbeda ketika aku sampai di taman. Biasanya, taman selalu sepi setiap aku pergi ke sini malam-malam. Tetapi malam ini, aku melihat laki-laki dengan hoodie hitam sedang duduk di ayunan. Laki-laki itu menoleh ke arahku dan seketika aku menyadari bahwa dia adalah Ryo.
Spontan aku bertanya padanya. “Ngapain lo ke sini?” Dia menatap mataku lalu berkata, “Nungguin lo.” Aku memperhatikan wajahnya dan tidak menemukan raut wajah bercanda di sana. Aku pun duduk di ayunan sebelahnya sebelum bertanya lagi padanya. “Ngapain nungguin gue?” Dia mengayunkan ayunannya secara perlahan.
“Setiap malam gue nungguin lo, ternyata lo udah mulai jarang ke taman ini.” Alih-alih menjawab pertanyaanku, Ryo malah mengatakan hal lain. “Gue bingung deh. Udah jelas-jelas mereka tuh cuma manfaatin lo, tapi kenapa lo masih mau berteman sama mereka?” Aku sedikit bingung dengan pernyataannya.
“Maksudnya?” Tanyaku.
“Gak usah pura-pura gak paham. Gue tau lo ngerti apa yang gue maksud.” Lagi-lagi dia tidak menjawab pertanyaanku.
“Hmph. Emang sekelihatan itu ya?” Kataku sembari menghembuskan napas pelan.
“Gak sih. Emang gue peka aja.” Ucap Ryo.
“Ya, mau gimana lagi? Gue masih mau temenan sama mereka. Cuma ini satu-satunya cara supaya gue bisa temenan sama mereka.” Jelasku.
“Lo beneran yakin masih mau temenan sama mereka?” Ucapan Ryo membuatku berpikir kembali.
“Tapi, gue merasa kangen sama mereka disaat gue gak deket sama mereka.” Ungkapku.
“You miss the memories, not the person. Gue yakin pasti lo ngerasa ada yang mengganjal walaupun lo ‘dekat’ sama mereka.” Ryo membuat tanda kutip dengan jarinya ketika mengucapkan kata ‘dekat’.
“Iya sih. So, what i’m suppose to do?” Tanyaku padanya.
“Lo harus paksa diri lo untuk gak bersama mereka.” Saran Ryo.
“How?” Tanyaku—lagi.
“Lo harus tolak semua ajakan dan permintaan mereka. Mulai besok, lo duduk sama gue lagi supaya gak dekat-dekat mereka. Lagipula, si Asha bikin gue risih. Lo juga jangan mau kasih mereka contekan lagi, alasan apa kek gitu.” Jelasnya.
“Tapi gue gak enak sama mereka. Takutnya, gue diomongin macam-macam lagi.” Ujarku.
“Ngapain mikirin perkataan orang? Do what you think it’s right. Kalau lo masih gak bisa, pelan-pelan aja. Step by step.” Ucapnya kepadaku. Aku pun bergumam pelan. Keheningan tercipta di antara kami. Tak lama setelah itu, aku pamit kepadanya dan pulang ke rumah.
Keesokan harinya, aku meminta Asha untuk menukar tempat duduk lagi. Dia menyetujuinya setelah aku mengatakan bahwa Ryo yang menginginkan hal itu. Aku berusaha untuk melakukan apa yang dikatakan oleh Ryo. Aku mulai menjauh dari mereka. Awal-awal mereka bertanya padaku alasan aku menjauh, tapi lama-kelamaan mereka mulai tidak peduli denganku.
Semakin lama, aku semakin jauh dari mereka dan aku semakin dekat dengan Ryo. Hampir tiap malam aku datang ke taman untuk bercerita kepadanya ataupun sekadar mengobrol asal. Aku merasa memiliki tempat pulang baru. Karena keluargaku sedang renggang, aku senang sekali dapat memiliki teman seperti Ryo.
Hari-hari menjelang ulangan pertengahan semester, aku belajar dengan giat. Aku ingin merebut posisi juara pertama yang biasanya aku dapatkan. Saat ujian berlangsung pun, aku berusaha untuk tidak sering-sering memberi mereka contekan. Pada saat pengambilan rapor, aku kembali menempati posisi juara pertama dengan nilai rata-rata yang hampir sempurna. Ryo juga menempati posisi juara kedua dengan selisih yang sangat sedikit denganku.
***
Waktu terus berjalan, aku sudah tidak pernah lagi bergabung dengan circle Asha. Justru, kedekatanku dengan Ryo semakin bertambah. Orang-orang mengira kami pacaran, padahal kami adalah sahabat. Aku sudah mengenalkan Ryo ke keluargaku, begitu juga sebaliknya. Ternyata, ayah Ryo adalah hakim yang menangani kasus Papa.
Menjelang ulangan akhir tahun, aku dan Ryo selalu belajar bersama. Terkadang kami belajar di rumah Ryo, tak jarang juga kami belajar di rumahku ditemani kue buatan Mama. Pada saat pengambilan rapor, kami berdua memiliki nilai rata-rata yang sama.
Selang beberapa hari setelah pengambilan rapor ulangan akhir tahun, Bang Vino pulang lebih cepat dan menyuruh kami berkumpul di ruang tamu.
“Good news, orang yang memfitnah Papa sudah ketemu.” Aku, Mama, dan Kak Vina sangat senang. Bahkan, Mama menangis terharu.
“Harta keluarga kita yang disita akan dikembalikan. Jadi, minggu depan kita sudah bisa pindah ke rumah yang lama. Tapi, Papa baru bisa bebas beberapa bulan lagi setelah sidang selesai.” Sambung Bang Vino.
“Orangnya siapa?” Tanya Kak Vina. Aku dan Mama pun ikut penasaran akan hal itu.
“Pak Ardan, partner kerja Papa itu loh.” Aku sangat terkejut akan jawaban dari Bang Vino. Pasalnya, pria yang disebut oleh Bang Vino adalah ayah dari Yasa, mantan pacarku. Setelah itu, aku dan keluarga berbincang-bincang tentang apapun yang terjadi akhir-akhir ini dan rencana-rencana yang akan dilakukan kedepannya.
Saat hari kelulusan, Asha, Mayra, Lyla, Noorah, dan Nalia menghampiriku yang sedang berfoto bersama Ryo.
“Alina, we’re really sorry about anything.” Kata Asha
“Iya. Lagipula, kalian tuh udah gue maafin dari jauh-jauh hari.” Ucapku.
“Berarti, lo mau gabung sama kita lagi kan?” Tanya Lyla.
“Sorry, girls. Kayaknya kalau yang itu gue gak bisa deh. Ada satu dan lain hal yang bikin gue nolak kalian.” Tolakku.
“It’s okay. This is our mistakes. We deserve it. Tapi kalau lo berubah pikiran, lo bisa hubungi gue.” Ucap Asha.
“Okay.” Mereka pun pergi meninggalkanku bersama Ryo.
“Good job. Gitu dong, berani tolak.” Ujar Ryo. Aku pun hanya membalasnya dengan cengiran.
Saat aku hendak berjalan menuju mobil, aku melihat Yasa berjalan menghampiriku.
“Al, gue mau minta maaf. Gue tahu gue banyak salah sama lo. Dan, gue juga mau minta maaf mewakili bokap gue. Gue beneran gak tau kalau beliau yang fitnah bokap lo.” Mohon Yasa.
“Iya, gapapa. lo gak salah kok. Yang penting bokap lo udah tanggung jawab.” Ucapku. Aku pun pamit kepadanya dan berjalan menuju mobil tempat Mama, Kak Vina, dan Bang Vino menunggu.
Sekarang, keinginanku sudah terpenuhi. Hubungan keluargaku kembali erat dan sebentar lagi Papa bebas. Walaupun aku tidak bisa bergabung dengan circle Asha, aku mendapatkan Ryo sebagai gantinya. Rangkaian peristiwa ini mengajariku untuk berhati-berhati dalam berteman karena tidak semua orang itu baik.
Comments