Meja Seberang #1
- Hanifah Aulia Septyanti
- 4 Mar
- 14 menit membaca

Aku menatap nanar kertas ujian Matematika yang sudah berisi banyak coretan pena berwarna merah. Lagi-lagi aku hanya bisa membuang napas kasar, mengamati nilai tiga puluh lima yang bertengger di atas kertas itu. Warnanya merah mentereng, seolah mengejekku yang mendapat nilai buruk. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk ujian kali ini, bahkan merelakan jam tidurku untuk belajar di tengah malam. Usaha mengkhianati hasil ternyata terjadi padaku, aku tak mengerti kenapa selalu saja mendapat nilai sebegitu jeleknya. Aku mendengus kesal, meremas kertas itu hingga menjadi bola kecil.
“Berapa, Ta?” suara itu membuatku semakin menekuk wajah, Gadin mengambil bola kertas yang sudah kubuang ke ujung meja itu, kemudian ia terkekeh.
“Kenapa kamu kelihatan kecewa? biasanya dapat segini juga, kan?” Gadin menunjukan nilai ujiannya, Gadin mendapat delapan puluh.
“Malas rasanya, padahal kemarin-kemarin aku sudah banyak berjuang, namun hasil membuatku sangat marah pada diri sendiri.” Aku mengeluh, entah kepada Gadin atau pada diriku sendiri. Mata cokelatku menatap ke meja seberangku, kertas ujian dengan nilai sembilan puluh delapan tergeletak di atas meja. Aku merotasikan mataku kesal, tak habis pikir mengapa tetangga sebelah selalu mendapat nilai yang melejit tinggi. Sempat terlewat di benakku bahwa ia menyogok Bu Martha supaya memberikannya nilai ujian Matematika dengan nilai di atas rata-rata. Padahal ia adalah seorang laki-laki cupu yang aku rasa tak punya teman sama sekali selain Baim dari kelas sebelah, yang rela mendatangi kelas kami untuk bertemu si cupu itu. Dua tahun sudah aku habiskan waktu menjadi teman sekelasnya, tapi tak pernah satu kali pun aku berbicara padanya. Kalau saja saat itu ia tak menjawab pertanyaan dari guru sejarah, mungkin hingga saat ini aku menganggapnya tuli dan bisu.
“Jelita!”
Aku terlonjak ketika mejaku dipukul keras oleh Bu Martha, dengan hati-hati aku menoleh ke arahnya. “Kamu ini selalu menganggap pelajaran saya tidak penting, ya!” Bu Martha menyerangku dengan berbagai ungkapan kemurkaannya karena aku tidak fokus di jam mata pelajarannya.
“Maaf, Bu. Saya akan lebih fokus memperhatikan.” Aku tak berdaya kalau sudah di posisi skakmat seperti sekarang. Bu Martha menatap Gadin sama mematikannya. Gadin hanya gelagapan menundukkan kepala, sedang aku masih diserbu dengan ucapan yang menyelekit di hati.
“Lihat nilai kamu, Jelita! Kalau saya jadi kamu, saya akan buat kertas ujian ini menjadi bungkus gorengan, tahu!” Aku meneguk liurku sendiri, tapi ungkapan tersebut tidak sepenuhnya salah, malah aku berencana mengubur kertas memalukan ini. Aku hanya bisa mengiyakan semua kalimat yang keluar dari mulut cempreng Bu Martha.
“Saya perintahkan kamu untuk membersihkan toilet perempuan di lantai dua dan tiga sebagai hukuman. Apabila kamu ketahuan kabur, akan saya bawa masalah ini ke Bu Wina.” Final Bu Martha sembari meninggalkan kelas. Seluruh isi kelas memandangku dengan tatapan yang beragam, ada yang mengejek, ada yang kasihan, dan mungkin ada yang bersorak bahagia karena Bu Martha keluar kelas sebelum jamnya selesai.
Aku tak punya pilihan lain, padahal hari ini aku punya janji dengan Bani untuk bertemu pulang sekolah. Hancur sudah rencana kencanku dengan Bani si gitaris famous se-antero sekolah. Meskipun aku sedikit bodoh di mata pelajaran Matematika, aku masih pintar di mata pelajaran lain, contohnya di mata pelajaran Seni dan Bahasa. Dan tentu saja aku bukan tipe makhluk yang hidup hanya untuk menyeimbangkan ekosistem bumi saja. Aku tak kalah famous dengan Bani. Banyak laki-laki mengantri untuk mengajakku jalan, tapi aku sangat pemilih dan sejauh ini belum ada yang menarik perhatianku. Kalau soal Bani, sebenarnya itu hanya ke-isengan kecil warga sekolah yang mencomblangkan kami. Jadi aku pikir tak ada salahnya mencoba terlebih dahulu, kan? Dengan perasaan kesal bercampur malu, aku melaksanakan hukuman dari nenek lampir alias Bu Martha dengan mulut yang tak henti menyumpahinya. Aku hanya melamun beberapa detik di jam mata pelajarannya, kenapa dia heboh sendiri?
“Ta!” Suara yang tak asing masuk ke indra pendengaranku. Aku melihat Gadin datang membawa minuman kemasan, memberikan satu untukku.
“Gila! seorang Jelita menyikati toilet!” Aku segera melemparnya dengan botol, kadang Gadin senang sekali asal bunyi. Gadin hanya tertawa kecil, kemudian ia tiba-tiba menatapku serius.
“Anyway, kamu tahu, tidak? tadi Ravigo menitip salam untukmu ke aku, lho.” ujar Gadin sembari menyodorkan sebuah kertas kecil berisi tulisan tangan khas anak laki-laki yang agak berantakan itu.
“Kemarin Damar sudah kamu tolak, masa kapten basket seperti Ravigo kamu tolak juga?” Gadin benar, sudah banyak ungkapan perasaan yang aku abaikan karena aku tidak tertarik. Namun, sepertinya aku harus minta maaf karena Ravigo akan bernasib sama.
“Memang kalau dia kapten basket kenapa? toh, nilai olahragaku akan segitu-segitu saja.”
Aku menyimpan kertas tersebut di saku baju dan melanjutkan hukumanku hingga selesai di toilet lantai tiga. Suara hiruk-pikuk sekolah saat jam pulang menjadi hal yang aku sukai, ketika mereka menjalani kehidupan mereka masing-masing, melakukan hal yang biasanya mereka lakukan. Tak berbeda denganku yang sekarang berdiri di depan pintu ruangan yang tak besar tapi tak kecil itu. Perpustakaan adalah tempat kesukaanku, tak semegah aula pertemuan, tak pula ramai pengunjung, sepi dan ... tenang. Langkahku mantap masuk ke dalamnya, tindakanku membuat pintunya berderit kecil. Dari semua ruangan yang tersedia di sekolah ini, kurasa perpustakaan lah yang jarang mendapatkan perawatan. Pintunya sudah lama, catnya sedikit mengelupas, pendinginnya sudah tak lagi berfungsi dengan baik, sofanya pun sama kerasnya dengan kue panggangku yang gagal.
“Jelita?” Suara berat itu mengalihkan atensiku, seorang laki-laki dengan nametag Arya Satya. Aku tersenyum ke arahnya, tampaknya ia baru selesai mengembalikan buku bacaan yang ia pinjam. Arya adalah salah satu temanku, tidak ada yang spesial tentang Arya, hobinya kurang lebih sama sepertiku.
“Kamu mau pinjam buku lagi, ya?” tanya Arya lagi, aku mengangguk sebagai jawaban. Menaruh tas ransel merah mudaku di salah satu sofa.
“Buku yang kemarin kamu sarankan, bagus lho ternyata. Terima kasih ya!” Nada riang membuat lawan bicaraku merekahkan senyumnya juga.
“Ya, sama-sama Jelita. Oh, di belakang Bu Nini sedang membereskan muatan buku-buku baru bersama Pak Dadang. Tadi aku membantu sedikit, tapi harus pergi karena ada urusan, mungkin kamu mau bantu?” Aku baru sadar di ruangan belakang perpustakaan, samar-samar terdengar suara benda jatuh. Mungkin aku harus bantu juga. Setelah Arya pamit, aku memutuskan untuk mendatangi belakang perpustakaan itu.
“Halo Bu—hati-hati, Bu!”
Tumpukan buku paket yang berada di atas meja nyaris menimbun Bu Nini kalau saja aku tidak memberikannya peringatan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tampaknya suara berisik tadi berasal dari buku-buku yang jatuh sebelum aku hadir di sini.
“Aduh, sibuk sekali ya, Bu? Jelita boleh bantu?” Bu Nini masih terkejut dengan jatuhnya buku-buku tadi, kemudian aku membantu merapikannya satu per satu menjadi beberapa tumpukan.
“Iya, Dek. Boleh tolong bereskan buku-buku yang di kardus itu? taruh di atas meja sana, ya.” Arahan kecil dari Bu Nini sudah cukup bagiku untuk membantunya. Dengan cekatan aku mulai memindahkan kardus-kardus yang berisikan buku-buku baru.
“Suara bising apa itu tadi? rasanya perpustakaan seperti mau roboh.” Tiba-tiba Pak Dadang datang, aku terkikik mendengar penuturannya.
“Tidak, Pak. Tadi bukunya ada yang jatuh,” jelasku singkat. Pak Dadang hanya mengiyakan penjelasanku. Namun, netraku sedikit menangkap ada seseorang dibalik tubuh gempal Pak Dadang.
“Bapak datang dengan siapa, tuh?” tanyaku. Kemudian Pak Dadang tersadar dan menarik pelan tangan orang tersebut. Rupanya seorang siswa laki-laki yang seangkatan denganku, karena bet atributnya yang sama seperti milikku.
“Sini, lho, kenapa kamu sembunyi di belakang Bapak.” Orang tersebut hanya tertawa canggung. Aku membelalakan mata saat parasnya sudah terlihat seutuhnya.
“Lho, Ringga?”
“Hai, Jelita.”
Rasanya seperti ada yang aneh dan mengganjal, Ringga si laki-laki cupu namun selalu ranking satu. Apa tadi dia menyapaku? menyebut namaku? Jelita? Astaga … sudah berapa lama aku tak mendengar suaranya? Mungkin kalian akan menganggap ini terlalu berlebihan, tapi sungguh aku sampai lupa bagaimana suara Ringga sangking tak pernah ia keluarkan ketika di kelas. Aku menyunggingkan senyum singkat, sebagai respons atas sapaannya. Kemudian sore itu kami sama-sama disibukkan oleh kegiatan bantu-membantu Bu Nini dan Pak Dadang di perpustakaan. Aku mengikat tali sepatuku yang lepas, penat menguasai tubuhku saat ini. Keringat membasahi seluruh wajahku, pendingin perpustakaan bahkan tak lagi terasa fungsinya. Menjatuhkan diriku di atas sofa keras, memejamkan mataku perlahan, tak terpikirkan bahwa hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan.
“Jelita.” Aku membuka mata, sedikit terkejut melihat Ringga berdiri di hadapanku membawa dua minuman.
“Ini,” ujarnya sembari memberikanku minum. Aku dengan ragu menerimanya, sangat canggung untuk berinteraksi dengan Ringga, tak tahu apa yang salah. Ia memilih duduk bersamaku di sofa yang sama. Melepas kacamatanya, bersandar pada sofa, kemudian menutup matanya perlahan. Aku memperhatikannya, kami berdua ditelan kesunyian yang kami buat.
Atensiku teralihkan oleh wajahnya yang … sedikit tampan? tidak, itu tidak sedikit. Hidungnya bangir mancung sempurna, bulu matanya lentik membuat matanya terlihat cantik, bibirnya tipis berwarna merah muda, kurasa ia tak pernah merokok, alisnya yang tebal, dan terakhir … rahangnya yang tegas membuat wajahnya terlihat tampan sekali. Astaga, mengapa aku baru menyadari bahwa teman sekelasku ini punya struktur wajah yang hampir sempurna?
“Kamu baru sadar aku tampan, ya?” Aku hampir melompat saat suara Ringga membuyarkan lamunanku. Bukan hanya itu, aku juga merasa malu karena Ringga sadar bahwa aku memperhatikan wajahnya. Ah, malu sekali!
“Tidak, terlalu percaya diri itu tidak bagus.” Aku merasa pipiku tiba-tiba panas, jadi kualihkan wajahku dengan membuka salah satu buku yang tersedia di rak samping sofa.
“Bukannya percaya diri itu perlu ya? lagi pula aku percaya diri karena aku memang tampan.” Aku mengernyitkan dahi ketika kalimat tersebut lolos dari bibir tipis Ringga. Seorang cupu seperti Ringga mampu berkata seperti itu? dunia hampir kiamat.
“Bicara saja dengan tembok!” finalku untuk menyudahi percakapan kami. Ringga tertawa keras, aku baru tahu ia bisa tertawa selepas ini. Kenapa Ringga sangat membingungkan? Ringga yang tak terlihat seperti biasanya, atau aku yang belum kenal Ringga sepenuhnya? Ketika tawa Ringga memudar, hening lagi-lagi menyelimuti suasana perpustakaan. Aku masih membuka halaman buku tadi, namun fokusku jelas bukan ke buku ini. Dengan sedikit keberanian, aku mengintip ke samping untuk melihatnya lagi. Jutaan pertanyaan sebenarnya kusimpan sendiri, aku tidak mampu mengungkapkan banyak penasaranku padanya untuk saat ini.
“Ta, nilai Matematika kamu … jelek, ya?” Tiba-tiba Ringga membicarakan nilai Matematika yang mematikan itu. Aku menghela napas pelan, tak menjawab pertanyaan Ringga karena aku sudah pusing dengan hal itu. Ringga pasti ingin mengolokku dengan tawanya yang lepas tadi.
“Belajar bersamaku, mau tidak?” Aku menatapnya dengan tatapan penuh selidik, bukannya ini terlalu tiba-tiba? bagaimana jika tujuannya menjatuhkanku? ia pasti akan pamer atas kepintaraannya di bidang Matematika. Kalau pun aku selalu bodoh di bidang ini dan harus mencari tutor, aku akan mencari tutor sendiri dengan biaya yang mahal, dibanding belajar dengan Ringga yang akan mengejekku tiap saat. Aku tersinggung, tak apa, kan?
“Tidak, terima kasih.” Aku membuang pandanganku ke segala arah, asalkan tidak bertemu dengan netranya yang berwarna hazel itu. Ia mengangguk pelan, aku pikir ia akan bersikukuh kalau memang berniat menjatuhkanku? kenapa menyerah secepat ini? tidak tahu, ah, pusing! Aku kembali berperang dengan isi kepalaku sendiri, aku ingin mengetahui banyak soal Ringga, namun aku tak ingin dicap sebagai orang yang kepingin tahu urusan orang lain. Mungkin tingkahku yang aneh dapat terbaca oleh Ringga, ia memasang ekspresi bingung saat melihatku. Aku tak tahan sekali.
“Kenapa kamu baru bicara kepadaku sekarang? apa saat di kelas kamu malu bicara denganku? karena aku mendapat nilai tiga puluh lima?” Tak kusangka rentetan pertanyaanku tersebut bisa keluar begitu saja dari mulutku. Aku segera membekapnya dengan tangan kananku. Terlihat Ringga melongo mendengarnya, namun kemudian tertawa perlahan-lahan dan menjadi lepas lagi.
“Kamu merasa begitu, kah?” tanyanya, kemudian aku mengangguk jujur. “Apa kamu merasa rugi tidak bicara denganku? bukannya justru kamu yang malu kalau harus berinteraksi denganku? si cupu ranking satu seperti julukan yang kamu berikan.”
Aku dengan segera menoleh dan menggelengkan kepala ribut. “Tidak, kapan aku menyatakan itu? aku bukan orang sombong, memang agak populer saja.” “Kalau begitu, belajarlah denganku, Ta.” Aku terdiam, menimbang-nimbang tawaran belajar dari Ringga. Pada akhirnya aku mengiyakan hal itu, yang membuat Ringga merekahkan senyumannya, dan untuk kesekian kalinya aku terkesan karena ternyata Ringga memiliki sebuah cacat pipi yang tak terlalu dalam.
Hari ini, aku sadar atas semua yang aku lakukan. Hatiku terasa tak tenang entah mengapa, rasanya seperti ada yang menganggu. Aku tidak tahu bagaimana kedepannya hubunganku dengan Ringga, apa aku masih bisa memandangnya dengan pandangan yang sama? sebelum melihat tawanya yang selepas tadi? Suasana Jakarta menuju senja memang menjadi pemandangan favorite-ku, di mana ketika payoda oranye yang menggumpal itu bersaing untuk menggeser langit biru. Burung-burung yang terbang bersama kawanannya menambahkan kesan indah di lukisan milik Tuhan. Setidaknya itu yang dapat aku nikmati sebelum jalan raya Jakarta berubah menjadi lautan kendaraan. Suara ramai klakson kendaraan yang saling ingin mendahului terdengar sampai ke dalam mobil. Aku duduk di kursi penumpang depan dengan perasaan senang tapi tak tenang. Aku memandang buku yang kupegang saat ini, bukan buku perpustakaan seperti yang kuniatkan tadi sore. Melainkan buku tulis yang tersampul rapi dan kini berada di tangan yang bukan pemiliknya.

Catatan Matematika: Ringga Heima Gauri
Begitulah yang tertulis di cover buku tersebut.
Memoriku kembali diisi dengan perkataan Ringga di perpustakaan tadi, apa benar kalau sebenarnya Ringga menghindari percakapan karena aku yang menjauh? tapi bagaimana ia dengan yang lain? Ringga tak hanya mendiamiku saja, tapi seluruh warga sekolah merasa dibuat seperti tembok olehnya.
“Sedang belajar apa, Kak?” Suara pria yang tengah menyupir, yang tak lain tak bukan adalah Papa. Aku hanya menunjukan halaman buku yang terbuka, Papa melirik ke arahku, dan mengangguk.
“Bagaimana nilai Matematikanya tadi?” Ah gila, semua orang membicarakan nilai, nilai, dan nilai. Kepalaku sampai panas meski hanya mendengar headline dari topik yang dibicarakan.
Aku menjawab dengan suara kecil, “tiga puluh lima,” kataku seada-adanya. Papa justru tertawa mendengar itu. Yah … syukurlah aku tidak terlahir di keluarga yang gila soal nilai, setidaknya aku tidak diusir karena mendapat nilai sebegitu buruknya.
“Itu nilai atau nomor urut? tidak mau cari tutor baru?” tawar Papa masih dengan sisa tawanya. Aku diam sejenak, kemudian menggeleng entah Papa dapat melihat gelenganku atau tidak. “Aku punya teman yang pintar Matematika, dia bilang bersedia mengajariku.”
“Pemilik buku catatan itu?” Aku mengangguk singkat. Ponsel milik Papa berdering, menandakan berakhirnya konversasi random soal tutor Matematika untukku. Papa terlihat sibuk dengan lawan bicaranya, kedengarannya seperti tentang kerjaan. Aku memilih melempar pandanganku ke jendela mobil, kaca mobilku yang sudah gelap menjadi semakin gelap karena sore yang turut berganti menjadi malam.
Suasana pagi ini benar-benar terasa ganjil, aku tidak bisa duduk diam di bangku kelas. Hari ini kami diberikan tugas mengarang sebuah cerita pendek oleh guru Bahasa Indonesia kami, Pak Rando. Harusnya aku tak merasa sebegini gelisahnya karena skill menulisku tak perlu diragukan lagi, apalagi imajinasiku yang sangat liar. Namun, entah mengapa aku kini kerap kali mencuri-curi pandang ke meja seberangku. Satu kali tatap mata kami bertemu, aku malah salah tingkah, gelisah, tidak mau diam, seperti cacing ketika ditaburkan garam. Sikapku yang mendadak aneh menarik perhatian Gadin, ia bahkan menawariku untuk ke UKS.
Ini jelas gila! aku tak yakin siapa yang mampu membuatku begini, namun ada satu nama tersangka yang kuduga sedang memperhatikanku dari ujung mata hazel miliknya. Ringga Heima Gauri. Aku menatap lembar kertas di tanganku, ada karangan aneh di sana. Aku membaca perlahan beberapa kalimat yang tertulis menggunakan bolpoin hitam. Bahkan orang-orang yang tidak kalian duga, akan hadir di kehidupan kalian. Yang dikhawatirkan apabila mereka memberikan duka, menorehkan luka. Tapi bagaimana kalau mereka justru mengisyaratkan rasa suka? Aku menahan napas, menggigit bibir. Aku merasa ada yang tidak beres dengan diriku sendiri.
Mata pelajaran ini menjadi mata pelajaran penutup di hari Selasa. Gerbang sekolah mulai dibuka dan para murid menghamburkan diri keluar gedung sekolah. Aku menghampiri Ringga yang sedang merapikan tasnya kemudian berdiri di hadapannya, tapi dia tetap fokus pada kegiatannya, seolah-olah aku tidak ada. Bagaimana bisa dia mengabaikanku setelah banyak hal yang kita bicarakan kemarin? Aku memperhatikan setiap gerakannya dan menaruh buku catatan Matematikanya.
"Ringga," panggilku pelan.
Dia mengangkat kepala, menatapku datar. "Ya?" Aku tak mengerti mengapa, tapi bibirku kelu dan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ringga masih menatapku dengan tatapan khasnya, aku sedikit gemetar dan tanpa sadar memainkan jari tanganku. Sepuluh detik aku membiarkan kami berdua ditelan kesunyian, detik berikutnya Ringga melanjutkan kegiatannya dan bersiap melangkah pergi. Aku menahan pergelangan tangannya.
"Ada apa, Jelita?" Aku menatap ke arah langit-langit kelas yang mulai lusuh, menghindari tatapannya.
"Terima kasih untuk catatannya, semalam aku menyalin banyak sekali. Tapi … rasanya sulit untuk belajar kalau aku saja tidak paham dengan isinya."
Ringga menatapku beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah, kita mulai sesi belajar hari ini." Aku tidak pernah merasa senang dengan semua hal yang berhubungan dengan Matematika. Tapi, untuk sesi belajar kali ini, kenapa aku merasa tak sabar menunggu? apa karena Ringga yang menjadi tutor ku? Eh … Ringga tidak akan memarahiku seperti Bu Martha, bukan?
Setelah permintaanku, setiap hari setelah sekolah, kami bertemu di perpustakaan. Awalnya terasa aneh, tapi Ringga sangat sabar mengajariku. Perlahan, aku mulai memahami materi yang sebelumnya terasa mustahil untuk kumengerti. Namun, entah apa yang salah tapi aku tidak ingin orang lain tahu. Ketika di kelas atau di kantin, aku tetap menjaga jarak. Waktu cepat sekali berjalan, sebentar di sini, sebentar di sana. Enam hari sudah aku menghabiskan waktu pulang sekolah dan hari liburku untuk belajar mata pelajaran yang paling kubenci selama tujuh belas tahun. Ada rasa bangga pada diriku karena bangkit dari kebencian yang mengubur diriku selama itu. Rasanya tak mampu menjelasan dengan kata-kata.
Ketika aku melihat soal Matematika dan kini aku mampu menyelesaikannya, Gadin sampai tidak percaya bahwa aku berhasil lolos dari semprotan maut Bu Martha saat diperintahkan mengerjakan soal di papan tulis. Dan di hari itulah pertama kalinya beliau memberikan senyumannya untukku. Duniaku terasa berubah, tak ada lagi kegelisahan di mata pelajaran Matematika. Tidak ada lagi kehebohan Senin pagi di rumahku, jikalau aku membual soal kesehatanku kepada Mama supaya mau mengizinkan aku ke Bu Wina, wali kelasku. Semua ini dapat terjadi karena Ringga.
Bel istirahat keras berbunyi di segala sudut, guru-guru yang mengajar langsung pamit karena jam mengajar mereka sudah habis. Aku menggandeng lengan Gadin dan lekas pergi ke kantin, berniat mentraktirnya makanan sebab aku berhasil melewati jam pelajaran Matematika tanpa drama. Aku dan Gadin duduk bersama teman-teman lainnya, yang tentu saja memiliki tingkat kepopuleran yang setara denganku. Kami berbincang dengan riang, sesekali menyoroti beberapa siswa laki-laki yang tengah berinteraksi dengan teman-temanku. Tawa mereka memenuhi meja, menciptakan atmosfer yang penuh semangat.
“Jelita, hari ini mau di perpustakaan atau di rumahmu?”
Aku membeku. Ringga yang selama ini hampir tidak pernah berbicara denganku di hadapan orang lain, tiba-tiba berdiri di hadapanku tanpa ekspresi yang jelas dan mengajukan pertanyaan yang menurutku sangat tidak masuk akal. Seluruh teman-temanku menghentikan percakapan mereka, menatap Ringga dengan tatapan heran dan penuh rasa ingin tahu. Aku merasa panas dingin, lalu mencoba tersenyum canggung.
"Aku sibuk," jawabku cepat, nyaris panik. "Kita tidak bisa belajar hari ini." Ringga mengerutkan kening.
"Tapi tadi—"
"Aku bilang tidak bisa," potongku cepat, lalu tertawa kecil, mencoba bersikap santai. "Aku bukan guru privatmu, Ringga. Jangan menempel denganku."
“Oh, astaga! Coba lihat dirimu … aku bahkan tidak tahu siapa namamu. Bagaimana bisa kamu seberani ini menghampiri Jelita? Jangan ganggu dia, dia tak akan memberikan nomor ponselnya.” Itu Kimi, yang kemudian diikuti oleh gelak tawa teman-temanku. Aku meneguk ludah dengan gugup saat mendengar pernyataan kasar itu.
“Kamu jangan begitu, Kim. Coba tanyakan dengan Jelita, apa ia ada urusan dengannya?” Gadin mencoba menghentikan gelak tawa hina dari Kimi dan teman-temanku yang lain. Semua pasang mata tertuju ke arahku, aku gelagapan tak siap untuk semua ini.
“Tidak ada, lagipula aku tidak gemar belajar, jangan ganggu aku. Aku tak mungkin pergi jalan bersamamu.” Ujarku yang cukup untuk menjelaskan intinya.
Aku melirik ke arah Ringga, aku dapat melihat ekspresinya berubah. Aku menemukan sesuatu di matanya, kekecewaan yang tajam. Dia diam beberapa saat, lalu berbalik tanpa berkata apa-apa. Aku meremas ujung rok dengan cemas. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak kunjung menemukan jawaban. Aku menggigit bibir berulang kali, berharap Ringga tidak menganggap serius perkataanku barusan. Itu hanya candaan kecil, seharusnya ia tidak perlu terlalu memikirkannya.
Ketika kembali ke kelas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku melirik ke arah Ringga yang duduk di bangkunya dengan wajah datar, tatapannya terfokus pada buku yang ada di hadapannya. Tidak ada sapaan kecil seperti biasanya, bahkan tidak ada sekadar anggukan singkat. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai menggelayutiku.
“Ringga, punya pensil lagi?” tanyaku basa-basi, Ringga menggeleng, ia bahkan tidak menolehkan kepalanya sama sekali. Aku menghela napas, kemudian guru sejarah datang dengan cepatnya, mengisi kelas kami dengan sebagaimana mestinya. Membuatku tidak punya waktu untuk sibuk memikirkan ada apa dengan Ringga.
Sejak saat itu, aku baru menyadari bahwa dia mulai menjauhiku. Saat aku menyapanya, kadang dia hanya memberi jawaban singkat, atau paling parah saat pura-pura tidak mendengar. Aku merasa ada sesuatu yang hilang, tapi aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Aku masih memutar kejadian di kantin saat itu. Masih menebak-nebak apa Ringga marah hanya karena itu? apa ucapanku menyakiti hatinya? Kenapa dia menangkapnya serius. Ayolah, ini hanya sekadar ucapan main-main, terlalu bawa perasaan itu tak bagus, kan? Aku tidak ingin mengakuinya, tapi rasanya sedikit aneh saat pulang sekolah tidak bertemu dengannya. Aku mulai merindukan percakapan-percakapan singkat kami setelah sekolah. Aku bahkan tidak mengerti mengapa aku merasa seperti ini. Selama dua tahun kami tidak pernah berbicara, dan aku baik-baik saja. Mengapa sekarang terasa berbeda? Aku terpenjara rasa bersalah, aku menyesal telah melakukan hal yang tak baik padanya.
Akhirnya aku tahu apa yang harus kulakukan, cepat atau lambat aku harus mengutarakan maafku kepadanya. Mencari waktu untuk mengobrol dengan Ringga seperti mencari waktu bicara dengan pejabat tinggi, sulit sekali. Saat pulang sekolah ia tak pernah lagi mengunjungi perpustakaan, jika aku menghampirinya ia akan mengabaikanku dan menganggapku tidak ada.
Cara terakhirku untuk menemuinya adalah mengikutinya sampai ke rumah. Aku tahu ini terdengar tak masuk akal, tapi aku sudah kehabisan ide. Aku tidak bisa menunggu lagi. Namun, tepat saat aku hendak menghampirinya di gerbang sekolah, aku melihat beberapa siswa berkerumun di depan papan mading. Aku melangkah mendekat, dan mataku membelalak ketika melihat sebuah foto terpampang di sana. Itu adalah foto aku dan Ringga, diambil saat aku sedang berbicara dengannya di perpustakaan kemarin. Judul besar di atas foto itu membuat dadaku terasa sesak.
“JELITA'S DARKEST SECRET: BERTEMAN DENGAN CUPU!”
BERSAMBUNG
Comments