Takdir Yang Meragu
- Hawa Az Zahra
- 2 Mar
- 1 menit membaca
Kita adalah dua bintang yang saling berpijar, namun terpisah jutaan cahaya tahun. Seperti ombak yang rindu pantai, tapi selalu dihalangi oleh takdir pasang surut. Kita saling mencari dalam riuh dunia, berusaha meraih satu sama lain, tetapi selalu ada jarak yang tak terlihat, sesuatu tak bernama yang membuat genggaman kita longgar sebelum benar-benar erat.
Aku melihatmu dalam setiap embusan angin, dalam bayangan senja yang merayap di dinding, dalam rintik hujan yang jatuh tanpa suara. Kau ada di mana-mana, tapi sekaligus begitu jauh. Kita berjalan berdampingan, tapi seolah dipisahkan oleh dinding kaca—bisa saling menatap, namun tak bisa benar-benar menyentuh.
Kita mencoba merangkai hari dengan harapan, namun waktu sering kali merenggutnya. Kita ingin menggenggam erat satu sama lain, tetapi semesta selalu meniupkan jarak di antara jemari kita. Seakan dunia senang menguji, seakan langit cemburu pada cahaya yang kita cipta. Setiap kali kita melangkah mendekat, ada sesuatu yang menarik kita mundur, entah itu rasa takut, ego, atau luka-luka lama yang belum kering.
Takdir Yang MeraguMungkin kita adalah puisi yang ditulis dengan pena patah—indah dalam kepedihannya, namun tak pernah selesai. Atau mungkin, kita adalah dua melodi yang terdengar merdu sendiri-sendiri, tapi menjadi sumbang saat bersatu. Segala yang kita coba selalu berakhir dengan tanda tanya, dengan kebingungan yang menggantung di udara.

Namun, jika memang kita bukan untuk bersama, mengapa hati masih terus kembali? Mengapa setiap perpisahan terasa sementara, seolah takdir hanya sedang bermain-main dengan kita? Ataukah ini hanya ilusi yang kita ciptakan sendiri—sebuah keinginan yang kita paksa menjadi kenyataan, padahal sejak awal, kita memang ditakdirkan untuk menjadi dua garis yang tak akan pernah bertemu?
Comments